Senin, 05 Maret 2012

Info Kilat

Perempuan "Kill Bill" pelaku penyerangan di RSPAD Gatot Subroto meminta baju tahanannya diganti dengan warna kuning.

Jumat, 30 Desember 2011

Negeri Pengantre

Di negeri yang belum tertib budaya antre ini, malangnya, banyak sekali dijumpai berbagai antrean. Apa saja diantre, mulai dari antre raskin, BLT, hingga Blackberry dan serupa pula tanda-tandanya: berdesakan hingga pingsan. Karenanya, antrean itu tidak lagi menjadi stigma orang terdesak, tetapi juga orang yang mendesak-desakkan diri. Antre beras miskin itu pasti tedesak, tetapi membeli permata dan Blackberry itu pasti mendesak-desakkan diri. Akhirnya budaya berdesakan itulah sebetulnya istilah yang lebih cocok. Kenapa harus disebut budaya? Karena pelakunya hampir merata. Tidak peduli apakah dia pihak yang terdesak atau pihak yang mendesak-desakkan diri sama-sama berisiko berdesakan. Kini jelas, ada dua pihak, yang sejatinya datang dari wilayah berbeda, kekuatan berbeda dan mestinya memiliki kecenderungan berbeda, tetapi keduanya bisa memeragakan perilaku yang sama. Begitulah segala sesuatu kalau sudah menjadi budaya. Ia bisa mengikat pihak yang tampaknya berbeda ke dalam perilaku yang sama. Tapi kata ‘’tampaknya’’ itu bisa jadi penting. Karena yang berbeda jangan-jangan cuma yang tampak saja. Sementara yang tidak tampak dan yang jauh lebih mendasar sifatnya, bisa jadi sama saja. sumber : http://www.priegs.com/ Kini, bisa jadi antara pemimpin dan yang dipimpin sama-sama memendam kesulitan yang sama. Yang pemimpin gagal memimpin yang dipimpin juga gagal dipimpin. Jadi dua belah pihak yang tampaknya berbeda itu sejatinya sama saja: sama-sama menyimpan kesulitan di dalam dirinya. Tetapi diri sendiri yang menyimpan kesulitan ini menjadi mudah menuding pihak lain sebagai sumber kesulitan karena memang kesulitan itu juga ada di sana. Jadi inilah serepot-repotnya keadaan karena mana ujung mana pangkal tak lagi mudah ditemukan. Siapa salah siapa benar menjadi sulit dipisahkan. Lihatlah hanya pada satu persoalan saja (sebetulnya bukan persoalan melainkan permainan), sepak bola misalnya. Kenapa ada loket karcis sampai harus dibakar segala. Termudah yang harus dipersalahkan pastilah para pembakarnya. Karena apapun alasannya, pembakaran itu tak bisa dibenarkan. Tetapi takutkah para pembakar itu cuma karena akan mendapat cap dipersalahkan? Tidak. Mereka toh juga membakar juga. Orang-orang itu bukan tidak mengerti bahwa tindakannya keliru. Tetapi kenapa mereka tetap saja meneruskan kekeliruannya? Jawabnya ialah: karena ada desakan kekuatan yang lebih besar yang membuat tak cuma kekeliruan, bahkan hukuman pun tak mereka anggap menakutkan. Apa itu? Kemarahan atas sebuah persoalan. Sebuah? Tidak. Berbuah-buah. Mula-mula hanya pada panjangnya antrean, lalu pada manajemen pelayanan, lalu penjual karcis yang kurang jelas memberi informasi, lalu kenapa kurang cakap karena memang panitia yang lambat. Ternyata panitia juga cuma bagian kecil dari persoalan karena soal utamanya adalah mutu organisasi. Lalu kenapa organisasi itu bermasalah, karena sepak bola telah menjadi ajang berbagai kepentingan. Begitu rumit campuran kepentingan itu sampai pihak yang benar-benar menjadi sumber persoalan tidak ada. Kesalahan itu sering begitu nyata, begitu terasa, tetapi pihak yang bersalah tidak ada. Inilah bahaya kekeliruan yang telah menjadi budaya. Ia seperti bukan soal yang harus dipersoalkan karena semuanya menjadi bagian dari persoalan. Tetapi semoga ini baru sebatas kemungkinan, belum benar-benar menjadi kenyataan. (Prie GS)

Sabtu, 24 Desember 2011

RESOLUSI

Jakarta 24 desember 04:52 Dalam atmosfir pasca subuh di penghujung bulan Desember. Ketika tahun baru 2012 tinggal menghitung hari,membicarakan tentang resolusi mungkin sudah biasa dan umum bagi sebagian besar penduduk bumi. Sebuah resolusi mungkin akan mempunyai dampak yang sangat hebat bagi seseorang,atau mungkin juga hanya akan menjadi angan-angan semu bagi yang lainnya,semua tergantung dari masing-masing personal yang memiliki resolusi tersebut. Setiap resolusi pastinya bertujuan untuk mencapai hal-hal baru dalam hidup dan kehidupan ataupun meningkatkan sesuatu yang sudah mereka capai pada tahun sebelumnya. Bagi sebagian orang, memiliki resolusi berarti memiliki sebuah tujuan baru dalam hidup,memiliki misi-misi baru yang harus diselesaikan pada tahun yang baru. Sebelum memulai sebuah resolusi, hal yang pertama kali dilakukan adalah merenungkan tentang waktu yang telah terlewati sepanjang tahun ini,apa saja yang telah dilakukan,apa saja yang telah dicapai,perubahan apa saja yang telah dilakukan dalam hidup,peristiwa-peristiwa yang kecil maupun yang besar yang mewarnai kehidupan ditahun ini,bagaiman peristiwa-peristiwa tersebut berdampak pada kehidupan tahun ini.dalam proses perenungan ini biasanya seseorang sengaja mendekatkan dirinya kepada YANG MAHA KUASA dengan panjatan do'a untuk ketetapan hati dalam resolusi,keberkahan dan kesuksesan dalam mewujudkan resolusi. Hal yang mungkin tersulit bagi yang memiliki resolusi adalah mempertahankan niat dan tujuan,karena sangat manusiawi bila seseorang terkadang tergelincir,membelok dari tujuan mulia sebuah resolusi.,sebab kadang keimanan seseorang juga terkadang naik turun,bisa berada pada titik tertinggi ataupun terendah,tidak akan pernah berada pada titik stagnansi. Kemauan dan tekad yang kuat disertai penyerahan diri yang absolut kepada YANG MAHA KUASA akan menjadikan seseorang mampu untuk mewujudkan semua resolusi yang telah ditetapkan untuk 2012...semoga menjadi "sesuatu yah"..(mulai mengantuk) SELAMAT BER-RESOLUSI BARU (lagi) 2012

IPL atau ISL, "emang gue pikirin"

Jakarta (ANTARA News) Kisruh terpicu pelatuk dualisme kompetisi sepak bola Indonesia memuntahkan amunisi saling menghujat dan saling melontarkan dakuan (klaim) sah dan tidak sah. Ilustrasinya, mirip-mirip Tom dan Jerry berebut sekerat daging dan Popeye dan Brutus berebut Olive pujaan hati. Wakaakaa.... Seru, seram dan ekstra deg-degan. Aktornya, Indonesian Premier League (IPL) dan Indonesian Super League (ISL). IPL dibeking PSSI sementara ISL dituding PSSI sebagai oknum "mbalelo". Sanksi demi sanksi dilontarkan PSSI kepada punggawa ISL sebagaimana layaknya koboi berkuda di dunia Wild Wild West menembak lawan. Dor,dor, dor dan lawan terjengkang dari kuda. Penonton bersorak karena sang jagoan menembak mati sang penjahat. Dan bara konflik antara IPL kontra ISL terus berkobar. Puncaknya, Persipura Jayapura terdepak dari kompetisi Liga Champions Asia (LCA) akibat "Mutiara Hitam" telah mengikuti kompetisi di luar PSSI. Riak-riak dualisme kompetisi yang dikompori "sikap tegas" PSSI berbuah krisis. Sebelas klub dari IPL mundur teratur dari musim kompetisi 2011/2012. Sontak, mereka memaksa PT Liga Prima Indonesia Sportind0 (LPIS) merevisi jadwal kompetisi. Jumlah laga menyusut karena hanya 13 klub yang tampil di kasta utama kompetisi Indonesia. Krisis itu diamini personel LPIS. "Jadwal baru sudah kami siapkan. Tinggal dirilis dan disebarkan ke klub-klub. Dengan 13 klub ini maka akhir kompetisi akan maju sekitar sebulan dari jadwal sebelumnya," kata CEO PT LPIS Widjajanto. Di jadwal sebelumnya, ada 17 klub yang mendaftarkan diri sebagai peserta. IPL dijadwalkan berakhir pada Juli 2012. PSSI terus menghunjamkan sanksi. Klub-klub yang menolak berlaga di IPL akan menuai sanksi. "Kami sudah menerima data dari pihak pelapor, dalam hal ini PT LPIS," kata Ketua Komisi Disiplin PSSI Benhard Limbong. Serta merta, klub-klub ISL terbengong-bengong. "Hal itu sangat tidak berdasar dan tidak memiliki hukum kuat," kata Direktur Umum PT Liga Indonesia (LI) Syahril Taher. PSSI sebagai institusi yang menguasai dunia-kehidupan (life-world) sepak bola Indonesia seakan memonopoli makna dengan menentukan mana yang benar dan mana yang tidak-benar. Sampai-sampai, PSSI bakal menghukum wasit jika sampai memilih ISL. Menurut Ketua Komisi wasit PSSI Robert Rouw, PT LI sebagai penyelenggara kompetisi ISL sudah mengirim permohonan supaya PSSI memberi wasit untuk bertugas di laga kompetisi ISL. Alhasil, Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husin belum memenuhi permintaan itu. Baik IPL maupun ISL berebut pengaruh di jantung hati klub-klun Divisi Utama. PT LI siap menggelontorkan dana subsidi sebesar Rp300 juta. Tidak ingin mati angin, PT LPIS bergegas mencari simpati dengan memasukkan klub-klub Divisi Utama sebagai pemilik saham mayoritas di PT LPIS. Uang dan saham ikutan berbicara. Bagaimana dengan suporter? Perseteruan itu makan korban. Tersebutlah bahwa Persija IPL ingin menghindari konflik dengan Persija ISL. Jakmania pun siap menghadang. Keberadaan Persija IPL yang dibidani Bambang Sucipto dan Hadia Basalamah memunculkan penolakan Jakmania yang tanpa tedeng aling-aling mendukung Persija di ISL. Di kubu PSM Makassar, sejumlah anggota menolak IPL. Mereka menuntut Ilham Arif Sirajuddin sebagai ketua umum mengembalikan Juku Eja. Lengkap sudah bahwa kompetisi IPL mulai ditinggalkan suporter. IPL dirundung duka. Empat laga yang direncanakan digelar ternyata batal berlangsung karena tim yang bersangkutan menolak tampil. Weleh, weleh. LPIS sebagai dinamo LPI dan PSSI seakan menuai badai lantaran telah menebar angin kebencian di relung damai sepak bola dan sejuk komunikasi. ISL tetap bergulir meski PSSI melontarkan berbagai jurus sanksi untuk melakukan pencekalan dengan meminta Badan olah Raga Profesional Indonesia (BOPI) mengesahkan LPI sebagai satu-satunya kompetisi dan surat ke Polri untuk tidak memberikan ijin penyelenggaraan ISL. Karut marut kompetisi Indonesia berawal dari dua ketakpanggahan (inkonsistensi) PSSI. Awalnya kompetisi PSSI dibagi dua wilayah dengan peserta 32 klub, lantas diralat lagi menjadi 18 klub, kemudian ditetapkan menjadi 24 klub, lantaran ada penambahan enam klub tanpa ada mekanisme terang benderang. Ketakpanggahan kedua, Ketua Umum PSSI secara sewenang-wenang memasukkan PSMS dan Persebaya dengan menggunakan alasan sejarah dan ikon. Alasan sejarah? Absurd! Kedua ketakpanggahan PSSI justru berlawanan dengan pandangan sejarah klasik bahwa manusia akan berkembang baik dan harmonis asal dibiarkan hidup dengan bebas sebagaimana diungkapkan oleh filsuf JJ Rousseau. PSSI menerabas sejarah kekinian dengan menegas-negaskan diri sebagai "aku yang sedang berkuasa dan aku yang sedang merasa enak". PSSI kini seakan terlempar dan terpenjara dengan trauma masa lampau dari kepemimpinan figur terdahulu. Dendam berbalas dendam. Inikah "fair play"? Lebih lagi, PSSI melupakan dan mengabaikan bahwa sepak bola sebagai dunia-kehidupan, meminjam istilah filsuf Jurgen Habermas, bukanlah milik khusus seseorang. Sepak bola bermakna karena ada perjumpaan antar pribadi (inter-subyektif), karena ada ruang bersama dalam komunikasi. Sanksi bertubi-tubi kepada mereka yang dicap "beringasan" hanya menegaskan bahwa PSSI memosisikan diri sebagai orang pertama tunggal yang menafsirkan makna komunikasi. Kalau PSSI menabrak fatsun sejarah dan melabrak rumus dasar komunikasi antar pribadi maka jawaban nyelenehnya, "Emang gue pikirin". EGP itu indah. Drama IPL atau ISL yang diwarnai dan disuburkan oleh sanksi ini dan sanksi itu dari PSSI bermuara dari adanya sistem yang tertutup. Dan sistem yang tertutup cenderung menemui kebangkrutan. Pakem ini berlaku juga bagi institusi, organisasi dan perusahaan yang suka memonopoli makna. Wah? (A024) Editor: AA Ariwibowo COPYRIGHT © 2011 INTINYA ADALAH : cuma masalah berebut uang 300 JUTA...ya??? SUMBER : http://www.antaranews.com/berita/288098/ipl-atau-isl-emang-gue-pikirin

Jumat, 23 Desember 2011

MUSIK

Karena Skinhead sendiri pada dasarnya adalah suatu subkultur bukannya sebuah genre atau aliran musik, pilihan musiknya pun bisa beragam. Yang pertama tentunya adalah roots mereka yang berasal dari Mods, para Trads pun pada awalnya sangat terpengaruh musik R&B ala Inggris seperti The Who, The Kinks, dan lain sebagainya. Namun, mereka juga terinspirasi oleh style ala Jamaican Rude Boy yang juga populer di Inggris pada zaman itu. Rude Boy atau Rudy merupakan sebutan untuk para imigran Jamaika yang berkulit hitam pencinta dansa dan musik asal mereka. Hasilnya, para Trads pun sangat menggemari musik Ska, Reggae, Rocksteady, Soul, dan lain sebagainya. Sehingga kadang-kadang seorang Skinhead pun ikut menikmati alunan dari seorang penyanyi soul seperti Aretha Franklin misalnya. Dari roots tersebut dapat ditelusuri bahwa pada dasarnya Skinhead sama sekali tidak identik dengan rasis. Sebagaimana pendapat awam pada umumnya. Karena mereka pun menikmati kultur dari masyarakat kulit hitam. Bahkan, banyak juga Skinhead yang berkulit hitam dan berwarna kulit lainnya. SUMBER: http://id.wikipedia.org/wiki/Skinhead

PAKAIAN

Kaum Trads ini mudah dikenali dari setelan seperti shirt button-up Ben Sherman, polo Fred Perry, Bretel/suspender, celana jeans semi ketat, monkey boots, jaket jeans, jaket Harrington, V neck Sweater dls. Serta yang terpenting adalah potongan rambut yang pendek, berbeda dengan gaya rambut mods pada umumnya. Pilihan akan jenis rambut yang pendek ini lebih disebabkan alasan kepraktisan. Terutama karena sebagian besar lapangan pekerjaan yang tersedia tidak membolehkan pekerja berambut gondrong apalagi bergaya acak tidak beraturan. Selain itu, potongan rambut pendek dianggap sebagai keuntungan sewaktu harus menghadapi kehidupan jalanan yang keras ketika itu. Ada pula yang berpendapat bahwa pilihan berambut pendek merupakan counter terhadap life style kaum hippie yang dianggap mewah dan juga sedang berkembang pada masa tersebut. Lebih jauh lagi, suatu kisah menceritakan bahwa pilihan tersebut berasal dari kaum pekerja pelabuhan, seperti di kota Liverpool, yang memotong pendek rambut mereka untuk menghindari kutu yang banyak terdapat di sekitar pelabuhan. SUMBER: http://id.wikipedia.org/wiki/Skinhead

SEJARAH

Skinhead merupakan subkultur yang bermula di Inggris pada era ‘60-an, ketika Mods sedang mengharubiru kaum muda Inggris. Mods yang pada awalnya didominasi kaum muda yang berasal dari kalangan menengah ke atas kemudian mewabah dan menyentuh setiap kalangan. Tidak terkecuali kalangan pekerja alias working class. Para pemuda dari kalangan tersebut meskipun harus bekerja keras tiap hari, sebagian malah sebagai buruh kasar atau buruh pelabuhan, namun tetap memiliki cita rasa tinggi dalam memilih life style tertentu. Mereka berusaha mengadaptasi life style yang berkembang dengan pola hidup, selera serta kemampuan dompet. Maka pada sekitar tahun 1965, dalam dunia Mods dikenal pula istilah Smooth Mods (Peacock Mods) yang terdiri dari kalangan menengah stylish dengan pilihan kostum yang mahal serta Hard Mods (lemonheads, gang mods) yang terdiri dari kaum pekerja dan merupakan cikal bakal dari Skinheads. Hard mods kemudian baru dikenal sebagai kaum Skinheads sekitar tahun 1968. Generasi pelopor Skinheads tersebut biasanya disebut Trads (Traditional Skinheads) atau Trojan Skinheads, sesuai dengan nama label Trojan Records. SUMBER: http://id.wikipedia.org/wiki/Skinhead