Jumat, 30 Desember 2011

Negeri Pengantre

Di negeri yang belum tertib budaya antre ini, malangnya, banyak sekali dijumpai berbagai antrean. Apa saja diantre, mulai dari antre raskin, BLT, hingga Blackberry dan serupa pula tanda-tandanya: berdesakan hingga pingsan. Karenanya, antrean itu tidak lagi menjadi stigma orang terdesak, tetapi juga orang yang mendesak-desakkan diri. Antre beras miskin itu pasti tedesak, tetapi membeli permata dan Blackberry itu pasti mendesak-desakkan diri. Akhirnya budaya berdesakan itulah sebetulnya istilah yang lebih cocok. Kenapa harus disebut budaya? Karena pelakunya hampir merata. Tidak peduli apakah dia pihak yang terdesak atau pihak yang mendesak-desakkan diri sama-sama berisiko berdesakan. Kini jelas, ada dua pihak, yang sejatinya datang dari wilayah berbeda, kekuatan berbeda dan mestinya memiliki kecenderungan berbeda, tetapi keduanya bisa memeragakan perilaku yang sama. Begitulah segala sesuatu kalau sudah menjadi budaya. Ia bisa mengikat pihak yang tampaknya berbeda ke dalam perilaku yang sama. Tapi kata ‘’tampaknya’’ itu bisa jadi penting. Karena yang berbeda jangan-jangan cuma yang tampak saja. Sementara yang tidak tampak dan yang jauh lebih mendasar sifatnya, bisa jadi sama saja. sumber : http://www.priegs.com/ Kini, bisa jadi antara pemimpin dan yang dipimpin sama-sama memendam kesulitan yang sama. Yang pemimpin gagal memimpin yang dipimpin juga gagal dipimpin. Jadi dua belah pihak yang tampaknya berbeda itu sejatinya sama saja: sama-sama menyimpan kesulitan di dalam dirinya. Tetapi diri sendiri yang menyimpan kesulitan ini menjadi mudah menuding pihak lain sebagai sumber kesulitan karena memang kesulitan itu juga ada di sana. Jadi inilah serepot-repotnya keadaan karena mana ujung mana pangkal tak lagi mudah ditemukan. Siapa salah siapa benar menjadi sulit dipisahkan. Lihatlah hanya pada satu persoalan saja (sebetulnya bukan persoalan melainkan permainan), sepak bola misalnya. Kenapa ada loket karcis sampai harus dibakar segala. Termudah yang harus dipersalahkan pastilah para pembakarnya. Karena apapun alasannya, pembakaran itu tak bisa dibenarkan. Tetapi takutkah para pembakar itu cuma karena akan mendapat cap dipersalahkan? Tidak. Mereka toh juga membakar juga. Orang-orang itu bukan tidak mengerti bahwa tindakannya keliru. Tetapi kenapa mereka tetap saja meneruskan kekeliruannya? Jawabnya ialah: karena ada desakan kekuatan yang lebih besar yang membuat tak cuma kekeliruan, bahkan hukuman pun tak mereka anggap menakutkan. Apa itu? Kemarahan atas sebuah persoalan. Sebuah? Tidak. Berbuah-buah. Mula-mula hanya pada panjangnya antrean, lalu pada manajemen pelayanan, lalu penjual karcis yang kurang jelas memberi informasi, lalu kenapa kurang cakap karena memang panitia yang lambat. Ternyata panitia juga cuma bagian kecil dari persoalan karena soal utamanya adalah mutu organisasi. Lalu kenapa organisasi itu bermasalah, karena sepak bola telah menjadi ajang berbagai kepentingan. Begitu rumit campuran kepentingan itu sampai pihak yang benar-benar menjadi sumber persoalan tidak ada. Kesalahan itu sering begitu nyata, begitu terasa, tetapi pihak yang bersalah tidak ada. Inilah bahaya kekeliruan yang telah menjadi budaya. Ia seperti bukan soal yang harus dipersoalkan karena semuanya menjadi bagian dari persoalan. Tetapi semoga ini baru sebatas kemungkinan, belum benar-benar menjadi kenyataan. (Prie GS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar